Monday, July 06, 2009

PELUANG DAN TANTANGAN FOSS DI PERPUSTAKAAN

P

erkembangan pemanfaatan FOSS (Free Open Source Software) di Indonesia tahun belakangan ini semakin pesat. Apalagi setelah kementerian Kominfo mencanangkan gerakan penggunaan FOSS di Indonesia atau IGOS (Indonesia Goes Open Source). FOSS Adalah software yang didistribusikan secara bebas dengan menyertakan source code (kode program). Biasanya berdasarkan lisensi GNU GPL.

Lisensi GNU GPL (General Public License) adalah lisensi OSS yang mungkin paling umum digunakan. GPL menerapkan konsep yang dikenal sebagai “copyleft” yang cenderung menafikan copyright, dengan semangat pengembangan software secara bersama. Dibawah lisensi GPL, kode program suatu aplikasi berlisensi GPL dapat digunakan dimana saja dan dalam situasi apa saja; dapat didistribusikan kembali kepada semua orang, sepanjang kode programnya selalu disertakan dan lisensi GPLnya dipertahankan; dan setiap orang berhak membuat turunan dari kode program itu dan bahkan boleh menyebarkannya lagi, sepanjang kode program yang dihasilkan tersedia secara umum dan tetap berlisensi GPL. GNU sendiri adalah singkatan dari Gnu’s Not UNIX (Rhyno, 2004).

Selain itu dikenal pula LGPL atau GNU Lesser General Public License atau Artistic License, yang berarti bahwa source code dapat digunakan pada suatu aplikasi untuk kemudian dapat dikenai biaya, sehingga kode tersebut dapat diterapkan pada aplikasi komersial, namun tidak terlalu mahal alias ‘lesser’. Artistic License cenderung bermaksud mengurangi ketakutan pengunaan kode program untuk keperluan komersial.

Sesungguhnya kata free dalam FOSS lebih mengacu ke pengertian “kebebasan” dari pada pengertian “gratis” atau “cuma-cuma”. Namun dalam kenyataannya memang para pengembang FOSS pada umumnya, selain menerapkan bahwa source code dari program dibuka (open) untuk bebas dieksploitasi lebih lanjut dan disebarluaskan lagi, juga memberikan program yang dibuat tersebut secara cuma-cuma (free).

Richard Stallman dalam Rhyno (2004) mengemukakan empat kebebasan (freedom) dalam aplikasi open source yakni:

1. Kebebasan menjalankan program untuk tujuan apapun,

2. Kebebasan mempelajari cara kerja program dan menyesuaikannya dengan kebutuhan sendiri,

3. Kebebasan menyebarkannya lagi untuk kepentingan orang lain, dan

4. Kebebasan untuk mengembangkan program dan menyebarkannya lagi untuk kepentingan orang banyak.

Di lain pihak, dikenal software yang closed source code atau software yang dikenal dengan istilah paket software. Ada yang bersifat proprietary dan dijual, ada pula yang didistribusikan cuma-cuma alias gratis sebagai freeware. Freeware adalah istilah untuk software tidak berlisensi, biasanya tanpa disertai source code dan didistribusikan secara gratis kepada siapa saja yang berminat memilikinya.

Sebagaimana semua produk buatan manusia didunia ini, FOSS pun mempunyai kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah kekuatan dan kelemahan FOSS dibandingkan dengan proprietary software, baik yang juga free maupun yang berbayar (fee) yang dihimpun dari berbagai sumber:

Kekuatan FOSS

Kelemahan FOSS

Banyak tenaga programmer yang terlibat mengerjakannya sehingga hasilnya terjamin.

Masalah yang timbul berkaitan dengan intelectual property atau masalah pelaggaran hak cipta

Adanya peer review meningkatkan kualitas software

Para hacker justru akan memanfaatkan keterbukaan kode program dalam melakukan hal-hal yang dapat merugikan pengguna aplikasi

Masa depan software lebih terjamin. Tidak ada ketakutan akan kehilangan programmer yang akan melanjutkan pengembangan dan pemeliharaan program

Sejumlah bukti menunjukkan model pengembangan free open source software justru membutuhkan dana yang besar dan waktu yang lama dalam implementasinya

Kesalahan (bugs) lebih cepat ditemukan

Tidak banyak SDM yang dapat memanfaatkan program secara optimal

Terbentuknya banyak pilihan dan “rasa”. Fleksibilitas tinggi karena banyak pilihan

Pengalaman menunjukkan bahwa para pengembang yang mengakses kode program cenderung hanya mengubahnya untuk kepentingan sendiri dari pada menganalisis kelemahan dan memperbaikinya untuk kepentingan orang banyak

Tidak harus mengulangi pekerjaan yang sudah dilakukan programmer lain (prinsip reuse)

Beberapa jenis dan versi hardware sering tidak dikenali

Relatif bebas dari gangguan virus yang sering menjengkelkan

Tidak ada perorangan atau lembaga yang bertang-gungjawab khusus dalam memelihara sistem

Pemanfaatan FOSS di Indonesia, termasuk di bidang perpustakaan, masih rendah kalau dilihat dari jumlah pemakainya. Kebanyakan perpustakaan menggunakan sistem operasi Microsoft Windows dengan aplikasi berbasis Windows. Pengguna produk proprietary ini, ironisnya, kebanyakan adalah pengguna ilegal alias tidak resmi atau pengguna produk bajakan yang secara hukum melanggar undang-undang hak cipta. Utian Ayuba (2008), salah seorang penggiat penggunaan Linux yang juga anggota KPLI Bogor, mengingatkan bahwa ada dua hukum yang dilanggar para pemakai software bajakan. Pertama Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang dengan tegas menyatakaan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Hukuman maksimal atas pelanggaran ini adalah tujuh tahun penjara dan/atau denda maksimal lima milyar rupiah. Kedua adalah pelanggaran hukum agama. Bagi umat Islam di Indonesia, ini merupakaan pelanggaran terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta yang dikeluarkan tanggal 18 Januari 2003 mengenai produk-produk bajakan.

Memang ada juga perpustakaan yang sudah menggunakan sistem operasi Windows dan aplikasi resmi berbayar, namun masih jauh lebih banyak perpustakaan yang menggunakan sistem operasi dan aplikasi berbasis windows bajakan.

Di sisi lain memang secara psikologis orang cenderung sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Orang memang sulit beranjak dari ”zona kenyamanan”. Karena sudah terbiasa bertahun-tahun menggunakan program berbasis windows, meski bajakan dan melanggar UU Hak Cipta. Masih sangat sedikit perpustakaan yang menggunakan misalnya sistem operasi Linux. Padahal sistem operasi ini sekarang sudah mudah dioperasikan dan sudah sangat mendukung keragaman hardware, serta aplikasinya sudah tidak kalah dengan aplikasi berbasis windows, baik dari segi keragaman, maupun kualitas dan penampilan. Distribusi Linux atau lebih umum dikenal sebagai Distro Linux tercatat sudah mencapai 600 distro yang telah dikembangkan (http://www.distrowatch.com). Beberapa distro bahkan hasil pengembangan orang Indonesia, misalnya IGOS Nusantara, BlankOn, Kuliax, De2UI, dan PCLinux. Demikian pula aplikasinya kini sudah semakin lengkap, misalnya: Apache yang sudah sangat terkenal dan banyak digunakan sebagai kompetitor IISnya Microsoft, MYSQL (kompetitor MS SQLServer), PHP (saingan ASP), OpenOffice.Org (saingan MS Office), The GIMP (Adobe Photoshop), Inkscape (CorelDraw), Mozilla Firefox (MS Internet Explorer), Mozilla Thunderbird (MS Outlook), KB3 (Nero), XMMS (Winamp), Xine (Cyberlink PowerDVD), Pidgin (Yahoo Messenger), termasuk sejumlah aplikasi FOSS untuk bidang perpustakaan. Namun masih diperlukan kemauan yang keras dan usaha yang sistematis dan terpadu agar pemanfaatan FOSS di perpustakaan lebih banyak dan lebih merata di seluruh Indonesia.

Perpustakaan dan FOSS

Perpustakaan termasuk jenis lembaga yang cukup sigap mencoba mengikuti tren FOSS tersebut. Ini ditandai dengan munculnya beragam FOSS untuk diterapkan sebagai sistem otomasi perpustakaan dan perpustakaan digital yang dibuat oleh putera-puteri Indonesia.

Pelopor FOSS bidang perpustakaan di Indonesia adalah aplikasi sistem otomasi ISISONLINE yang digagas oleh Ismail Fahmi dan kawan-kawan dari KMRG (Knowledge Management Research Group) ITB Bandung. Aplikasi berbasis web ini dapat digunakan untuk mengonlinekan database yang dibuat menggunakan CDS/ISIS. Program CDS/ISIS gratis buatan UNESCO ini, seperti diketahui, sejak akhir tahun 1980an banyak digunakaan perpustakaan di Indonesia. Bahkan boleh dikatakan “merajai” sistem otomasi perpustakaan di Indonesia sejak mulai diperkenalkan, waktu itu masih versi DOS. CDS/ISIS terutama banyak digunakaan di perpustakaan perguruan tinggi. Bahkan program sederhana namun tepat guna ini diajarkan secara resmi pada hampir semua lembaga pendidikan perpustakaan dan kursus-kursus yang diadakan oleh berbagai instansi di Indonesia. Dikatakan resmi karena masuk dalam kurikulum semua lembaga pendidikan perpustakaan. Aplikasi ini bersifat freeware.

Gambar 1. Halaman Awal Aplikasi ISISONLINE

Setelah ISISONLINE yang dirancang hanya untuk mengelola database cukup sukses digunakan, kemudian disusul dengan kelahiran GDL (Ganesha Digital Library), yaitu aplikasi untuk pengembangan sistem perpustakaan digital, yang dibuat oleh perancang yang sama dengan ISISONLINE. GDL kini sudah banyak digunakan, bukan saja di Indonesia, tetapi juga digunakan di perpustakaan luar negeri. Ciri khas GDL yang membedakan dengan pendahulunya, yaitu ISISONLINE, adalah bahwa GDL dapat digunakan untuk mengelola dan mengonlinekan dokumen digital secara fulltext (teks lengkap).

Gambar 2. Halaman Awal GDL 4.2 Aplikasi Perpustakaan Digital

Selain itu muncul IGLOO (ISIS Goes Online) dengan logo rumah orang Eskimo, yang dibuat oleh Hendro Wicaksono. IGLOO dirancang selain untuk mengonlinekan database ISIS di internet, juga dapat digunakan sebagai program penelusur database ISIS pada keping CD dengan nama turunan IONC; Belakangan IGLOO dikembangkan lagi menjadi xIGLOO. Turunan IGLOO ini dirancang untuk mengakomodir kebutuhan sistem otomasi perpustakaan secara terpadu. Jadi pada aplikasi ini bukan saja disediakan fungsi atau modul penelusuran, tetapi juga dilengkapi dengan fitur sistem sirkulasi (transaksi peminjaman, pengembalian, pemesanan, dsb.) serta fitur-fitur lainnya.

Gambar 3. Halaman Awal Aplikasi IGLOO

Kemudian dari kota dingin Malang, lahir LASER yang dibuat oleh Naser dari Universitas Muhammadiyah Malang. LASER sudah tidak menggunakan database ISIS yang populer itu, melainkan sesuai tren FOSS sudah menggunakan database MySQL, dengan bantuan PHP dan dijalankan pada server Apache.

Dari kota hujan Bogor, alumni D3 Pusdokinfo ILKOM FMIPA IPB (Eru Gunawan dan kawan-kawan) membuat Freelib. Freelib ketika masih bernama Alpha (dan perancangnya masih freelance) menggunakan database MS.ACCESS, tetapi kemudian beralih menggunakan database MySQL ketika perancangnya sudah bergabung di suatu LSM di Jakarta yaitu Freedom Institute.

Dari kota kembang Bandung (tepatnya ITB) kembali lahir aplikasi otomasi perpustakaan yang bersifat FOSS, yaitu GLIS oleh Arif R. Dwiyanto dari ITB. GLIS yang kepanjangannya adalah Ganesha Library Information System, sekilas terdengar seperti kata geulis yang berarti cantik dalam bahasa Sunda. Bandung memang sejak dulu terkenal dengan gadisnya yang cantik-cantik. Demikian pula dengan GLIS yang mampu mengelola manajemen perpustakaan secara ‘cantik’.

Athenaeum Light oleh Dik Witono dan kawan-kawan di ibukota Jakarta seakan tidak mau kalah, kemudian muncul ikut meramaikan kancah FOSS di bidang perpustakaan di Indonesia. Aplikasi yang dikembangkan menggunakan database dari program proprietary FILEMAKER ini bahkan punya kelompok peminat yang menamakan dirinya KALI (Klub Athenaeum Light Indonesia). KALI termasuk yang sangat gencar melakukan pelatihan dan sosialisasi program Athenaeum Light. Kata athenaeum berasal dari bahasa Yunani berarti perpustakaan atau ruang baca. Versi lengkapnya (Athenaeum Pro) merupakan proprietary software dari Sumware Consulting New Zealand, yang harus dibeli jika akan digunakan. Jadi tidak didistribusikan secara gratis sebagaimana vesi lightnya.

Paling bungsu (saat tulisan ini dibuat) adalah aplikasi SENAYAN, hasil kolaborasi Hendro Wicaksono dengan Ari Nugroho. Diberi nama SENAYAN mungkin karena dibuat di Senayan Jakarta, tepatnya Perpustakaan Diknas Senayan, mungkin tempat para perancangnya sering berkumpul. Aplikasi FOSS yang terakhir ini belakangan cukup gencar mensosialisasikan program ini terutama melalui media internet/milis.

Dengan makin banyaknya FOSS didistribusikan untuk pengembangan sistem otomasi perpustakaan di Indonesia, tentunya menjadi peluang menarik bagi pustakawan untuk mengembangkan sistem otomasi di perpustakaan dalam rangka meningkatkan mutu layanan. Karena selain dapat diperoleh secara cuma-cuma, mudah didapatkan karena dapat diunduh (download) dari internet, bahkan jika perpustakaan punya staf berkemampuan pemograman maka aplikasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan perpustakaan.

Penulis belum mempunyai data yang akurat mengenai jumlah pemakai FOSS yang disebutkan diatas. Namun berdasarkan pengamatan dan pengetahuan penulis, jumlahnya belum banyak di Indonesia yang benar-benar diterapkan dalam transaksi rutin sehari-hari di perpustakaan.

Selain FOSS buatan anak bangsa, ada pula beberapa aplikasi FOSS buatan luar negeri yang dikembangkan dan digunakan di perpustakaan Indonesia, misalnya ada yang mengembangkan KOHA, OPENBIBLIO, EMILDA, MYLIBRARY, GREENSTONE DIGITAL LIBRARY dan beberapa FOSS lainnya. Semua aplikasi FOSS dalam bidang pusdokinfo ini dapat diakses melalui web di http://www.infolibrarian.com sebagai starting point.

Gambar 4. Halaman Awal Aplikasi Greenstone

Gambar 5. Halaman Awal Modifikasi Greenstone

Disisi lain ada proprietary software untuk perpustakaan yang sudah berkembang sejak awal tahun 1990an. Ada INSIS yang dulu banyak digunakan di Perpustakaan IAIN seluruh Indonesia yang dibuat oleh kelompok pengembangan, yang belakangan akhirnya membuat suatu perusahaan resmi untuk memasarkan produknya. Ada SIPISIS versi DOS (sejak tahun 1995 sampai tahun 2002) sebelum digantikan oleh SIPISIS versi Windows tahun 2002 dan tahun 2007 muncul MySIPISIS (SIPISIS versi Web), rangkaian produk yang dibuat atas kolaborasi tim otomasi Perpustakaan IPB dengan PT beIT Inovasi Tiwikrama. Ada Bookman dari PT CNI (Nuansa Cerah Informasi) yang tidak hanya memproduksi aplikasi otomasi bidang perpustakaan. Belakangan berkembang banyak aplikasi sistem otomasi, baik yang tergolong OSS atau CSS (Closed Source Software), tetapi belum secara tegas atau masih ragu-ragu menempatkan posisinya apakah termasuk kelompok FOSS atau proprietary, misalnya SPITS dari ITS, LONTAR dari UI. Lihat lampiran yang berisi daftar sebagian aplikasi sistem otomasi yang digunakan di perpustakaan Indonesia.

Tantangan bagi Pustakawan Indonesia

SDM yang diharapkan dapat menggunakan, memelihara, dan mengembangkan aplikasi FOSS untuk perpustakaan di Indonesia, umumnya masih rendah baik kuantitas maupun kualitas, apalagi di daerah. Kebanyakan pengembangan kreatif aplikasi FOSS di perpustakaan berada di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, atau Bogor. Sedangkan pustakawan daerah lain umumnya belum mempunyai kemampuan untuk menerapkan aplikasi tanpa bimbingan teknis yang memadai. Kecuali tentu beberapa orang yang sudah berhasil mengembangkan aplikasi otomasi perpustakaan, misalnya staf Perpustakaan IAIN Ar’Raniry di Banda Aceh yang mengembangkaqn aplikasi terintegrasi bernama SIM Perpustakaan dengan tool dari jenis FOSS. Kebanyakan SDM perpustakaan masih pada level murni operator. Umumnya mereka hanya dapat mengoperasikan aplikasi otomasi perpustakaan. Mereka perlu bimbingan teknis yang cukup, hanya untuk menjalankan aplikasi. Mereka kebanyakan bahkan tidak dapat melakukan proses instalasi aplikasi. Apalagi proses trouble-shooting jika terjadi gangguan. Ada memang perpustakaan, yang ingin melakukan otomasi perpustakaan, yang beruntung dapat bekerja sama dengan unit atau bagian komputer di lembaga induknya, namun ada juga perpustakaan yang harus berjuang sendiri untuk mengelola sistem teknologi informasi di perpustakaan termasuk penerapan aplikasi sistem otomasi dan perpustakaan digital.

Bagi mereka, SDM yang punya kemampuan sangat terbatas ini, diperlukan aplikasi yang siap pakai, mudah diinstal dan dipelahara, dan adanya dukungan dari lembaga semacam crisis center, yang bahkan kalau dapat menyediakan jasa konsultasi kapan saja diperlukan. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat bagi pengguna aplikasi untuk mendapat bantuan teknis, jika terjadi gangguan pada sistem otomasi yang digunakan. Selain itu perlu tersedia panduan teknis yang sangat mudah dan praktis. Walaupun dalam kenyataannya, berdasarkan pengalaman penulis, panduan praktis saja tidak banyak membantu, karena mereka lebih senang bertanya langsung. Bahkan ada yang tidak pernah mau membaca panduan. Setelah mereka diberi tahu bahwa cara perbaikan gangguan yang dimaksud ada ditulis dalam panduan, baru mereka mencoba mencari lagi dan membaca panduan yang diberikan saat pelatihan dan instalasi sistem. Sering terjadi tidak cukup hanya dengan berkonsultasi jarak jauh melalui telpon atau e-mail, kebanyakan dari pustakawan yang perpustakaannya sudah mencoba menerapkan sistem otomasi, akhirnya mengharapkan kedatangan teknisi untuk memperbaiki bahkan gangguan “kecil” sistem. Bahkan bagi mereka gangguan pada sistem jaringan pun sulit dibedakan dengan gangguan pada aplikasi!

Oleh karena itu, penerapan FOSS di perpustakaan di Indonesia, kalau ingin mencakup seluas-luasnya wilayah Indonesia, perlu tersedia semacam crisis center yang banyak di berbagai daerah, yang didukung oleh teknisi “mumpuni” dan ada waktu untuk membantu para petugas perpustakaan yang menerapkan FOSS untuk perpustakaan dalam rangka meningkatkan mutu layanan. Tentu saja untuk terwujudnya hal ini secara berkesinambungan crisis center ini perlu didukung oleh dana. Dana rutin dapat diperoleh dari perpustakaan yang memerlukan bantuan teknis personil di crisis center.

Ketersediaan tenaga teknis mumpuni di crisis center juga perlu menjadi perhatian serius. Saat ini tidak banyak tersedia SDM seperti ini. Yang ada pun kebanyakan berada di kota-kota besar. Penulis bertemu beberapa orang di beberapa kota kecil di daerah. Kebanyakan SDM seperti ini adalah lulusan diploma, baik dari jurusan informatika yang tertarik atau bekerja di perpustakaan, atau lulusan diploma jurusan perpustakaan yang tertarik dan senang melakukan eksperimen dalam bidang pemograman. Sangat jarang SDM ini seperti ini dari level sarjana bidang komputer.

Sehubungan dengan hal diatas, perlu dipikirkan untuk melengkapi kurikulum dalam lembaga pendidikan perpustakaan dengan memasukkan materi kuliah dan praktek pemograman menggunakan FOSS. Beberapa program pendidikan diploma atau sarjana jurusan perpustakaan di Indonesia sudah mulai merintis ke arah itu. Pendidikan formal dan pelatihan tenaga perpustakaan perlu dilengkapi dengan materi dasar untuk mendukung FOSS misalnya materi mengenai PHP, MyAQL, Apache atau paket XAMPP dan lain-lain.

Hal lain yang perlu diperhatikan menyangkut tool yang akan digunakan untuk mengembangkan FOSS. Tool tersebut seharusnya juga bersifat OSS atau setidaknya yang free. Jangan sampai untuk mengembangkan FOSS terpaksa harus menggunakan tool yang dibeli dengan harga yang mahal atau terpaksa menggunakan tool bajakan.

Ketersediaan Dana Pengembangan Perpustakaan

Masalah dana yang sudah diprogramkan melalui berbagai semacam skema proyek misalnya IMHERE, INHERENT dan sebagainya, yang dikucurkan ke perguruan tinggi termasuk ke perpustakaan, serta skema bantuan dana untuk pengembangan perpustakaan, tentu perlu pula dukungan bentuk-bentuk kegiatan, misalnya kegiatan pengembangan otomasi perpustakaan, seperti banyak terjadi selama ini. Hal yang penting yang perlu mendapat perhatian adalah semua itu harus dapat dipertanggungjawabkan hasilnya maupun secara administrasi dan secara moral. Kalau dahulu misalnya dalam bentuk pembelian program otomasi perpustakaan, maka nantinya perlu diarahkan ke dalam bentuk misalnya kegiatan bimbingan teknis atau semacam pelatihan-pelatihan dengan materi pendukung FOSS misalnya LINUX, XAMPP atau lainnya. Bahkan sebenarnya dapat ditiadakan atau dialihkan ke dalam bentuk-bentuk atau skema bantuan lain.

Kesimpulan

Menurut pendapat dan perkiraan penulis masih diperlukan beberapa tahun lagi ke depan agar penerapan FOSS di perpustakaan di Indonesia dapat berjalan baik dan lebih merata. Untuk itu diperlukan persiapan secara sistematik dan berkesinambungan. Berbagai pihak perlu bersinerji mendukung program ideal dan skala nasional ini. Selain peran aktif Perpustakaan Nasional sebagai lembaga yang tentu saja berfungsi mendorong pengembangan perpustakaan di Indonesia, juga lembaga pendidikan formal perpustakaan yaitu dengan mengintegrasikan dalam kurikulum materi yang dapat mendorong meningkatkan kemampuan SDM dalam mengembangkan FOSS. Selain itu para programmer muda dan idealis, perorangan atau kelompok perlu lebih gencar mengembangkan FOSS dalam bidang perpustakaan. Diskusi, seminar, workshop mengeai FOSS dalam bidang perpustakaan perlu lebih sering dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah perlu diperbanyak tulisan mengenai topik ini untuk memberi pencerahan dan motivasi kepada pustakawan Indonesia mengenai peluang FOSS di perpustakaan Indonesia.

Kepustakaan

Ayuba, Utian. 2oo8. Pengenalan Linux. Makalah Workshop Penerapan Free Open Source Software (FOSS) di Perpustakaan. Jakarta, 18-19 Februari.

Rhyno, Art. 2004. Using open source systems for digital libraries. Westport, Co: Libraries Unlimited, 160p.

http://www.cert.or.id/~budi/articles/open-source-for-corporation.doc

http://www.cert.or.id/~budi/articles/bisnis-open-source.doc

http://www.home.indo.net.id/~hirasps/haki/general/2006/sky-makalah_haki.doc


DAFTAR BEBERAPA SOFTWARE PUSDOKINFO YANG DIGUNAKAN DI INDONESIA

No.

Nama Software (Dibuat sejak tahun)

Perancang/ Kontak

Fungsi/Fitur dan platform

Pengguna

1

GLIS Library Software (2003)

Arif Rifai Dwiyanto ard@pengetahuan.org

Pengadaan, Pengolahan, Sirkulasi., Pencatatan pengunjung, pelaporan, berbasis Web, Open Source.

Perpustakaan Politeknik Negeri Bandung, Komisi Aids Kementrian BudPar (2005)

2

LONTAR (2006)

Perpustakaan Universitas Indonesia

Sistem Otomasi Perpustakaan berbasis web

Perpustakaan UI Jakarta dan beberapa perpustakaan lain

3

ATHENAEUM LIGHT versi Indonesia

Sumware consulting, New Zealand Developer [modifikasi]:Didik Witono. d_witono@yahoo.com

Katalog, Sirkulasi, laporan, dsb.

Perpustakaan Univ.Paramadina, LSM dan pribadi Perpustakaan Umum Kebumen, sejumlah perpustakaan sekolah

4

FREELIB (2003)

Eru Gunawan dkk (eruguna@yahoo.com)

Manajemen perpustakan, OPAC, Mysql, Apache PHP, Windows, Linux

Freedom Institute

5

NEW SPEKTRA (1999)

Team New SPEKTRA (Perpustakaan UK Petra) Teady Matius (teady@peter.petra.ac.id)

Pengolahan, Sirkulasi, OPAC, Laporan

Univ Kristen Petra dan lebih 30 perpustakaan lain yang tersebar di tanah air

6

LASER 2.0 (Akhir 2001)

Muhammadiyah Digital Library Research Group - Universitas Muhammadiyah Malang

Pengolahan, Sirkulasi, Administrasi, Laporan, OPAC. MySQL database, PHP, Apache Web server.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang dan sejumlah perpustakaan lain

7

IONC = IsisOnline on CD (2005)

Eko Junaedy/ Ruhimat (JPLH) (r_iim@yahoo.com)

Aplikasi berbasis web untuk meng-online-kan Database CDS/ISIS dengan CD/DVD

Perpustakaan dalam Jaringan Perpustakaan Lingkungan Hidup

8

xIGLOO

Hendro Wicaksono

Aplikasi berbasis web untuk meng-online-kan Database CDS/ISIS dengan tambahan fitur sirkulasi

Perpustakaan Diknas dan beberapa perpustakaan lain di Jakarta

9

SIPISIS (versi DOS sejak 1995 dan versi Windows sejak 2002). MySIPISIS (SIPISIS berbasis Web, 2007)

Tim SIPISIS Perpustakan IPB kerjasama dengan PT beIT (kontak@mysipisis.com)

Pengolahan, Sirkulasi, OPAC, pencatatan pengunjung, Copy Cataloguing, cek status dan perpanjang pinjaman via internet, WINISIS dengan MySQL, Windows/Linux. Support RFID.

IPB dan lebih 150 perpustakaan lain (DOS) dan lebih70 perpustakaan (Windows), 6 perpustakaan (versi web)

10

OPENBOOK

UNIKOM Bandung dikembangkan dari OpenBook OpenSource Library System

OPAC, Katalog dan sirkulasi

UNIKOM Bandung

11

NCI BOOKMAN

PT NCI

Pengolahan, Sirkulasi, OPAC, pencetakan barcode, dll.

JIP FIB UI dan sejumlah perpustakaan lain di Indonesia

Juga dikenal beberapa aplikasi lain misalnya Camelia ( Fauzi JIP UI), Simpus (Yaya-IPB), Suteki Pusaka (Bandung), Libido ( Jogja), OtomigenX (Bandung), SPITS dari ITS dan sebagainya.

Labels:

Pustakawan, Bangkitlah!

Kini dengan adanya UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, geliat kepustakawanan di Indonesia terasa lagi. Kini makin ramai dibicarakan masalah perpustakaan dan minat baca masyarakat

Saturday, March 26, 2005


Foto sendiri di kamar asrama di Aber Wales Inggris Posted by Hello

Sunday, March 20, 2005

Telah terbit dua judul buku Winisis

Telah terbit sekaligus dua judul buku mengenai Winisis.
Buku 1: Dasar-dasar Winisis
Buku 2: Tip dan Trik Mengoptimalkan Winisis

Diterbitkan oleh IPB Press
Maret 2005

Thursday, March 17, 2005

NapakTilas Sejarah Perkembangan Komputer

NAFSU PERANG MENGILHAMI TERCIPTANYA KOMPUTER
Napak tilas menelusuri sejarah perkembangan komputer

B. Mustafa
mus@ipb.ac.id atau mustafa_smada@yahoo.com

Tinjauan ‘napak tilas’ komputer ini dimulai dari awal zaman Renaisans. Pada saat itu, militer dengan dukungan ahli matematika mengembangkan teknik untuk memenangkan peperangan. Tahun 1500-an, NICCOLO TARTAGLIA (1499-1559) menghitung lintasan peluru meriam. Ternyata kemudian bahwa kejadian ini merupakan babak penting dalam perkembangan awal komputer.

Kurang lebih satu abad setelah itu ISAAC NEWTON menjelaskan gerakan lintasan peluru meriam dan lintasan planet melalui sebuah teori yang dikenal sebagai teori gravitasi. Namun teori tersebut sekaligus memperkenalkan ‘ketakutan’ dalam perhitungan, terutama menyangkut masalah tiga benda, yaitu matahari, bumi dan bulan. Dengan mulainya dihitung tentang gerakan dan lintasan benda-benda langit tersebut, manusia menghadapi perhitungan-perhitungan rumit, sehingga sejumlah ilmuwan mulai berpikir untuk melakukannya dengan bantuan mesin.

JOHN NAPIER (1550-1617), seorang berkebangsaan Skotlandia ‘setengah gila’, memperkenalkan alat hitung logaritmanya yang disebut Napier’s Bone. Alat ini sesungguhnya hanya merupakan suatu tabel perkalian pada batang-batang yang terbuat dari tulang. Mesin yang benar-benar pertama adalah yang diciptakan oleh WILHELM SCHICKARD (1592-1635). Mesin ini dapat menambah, mengurangi, melakukan proses perkalian dan pembagian bilangan. Sayang sekali mesin tersebut hilang sewaktu perang berkecamuk selama 30 tahun. SCHICKARD sendiri meninggal karena kena wabah penyakit yang timbul karena perang tersebut.

BLAISE PASCAL (1623-1662) membuat mesin hitung pertama yaitu PASCALINE, yang hanya dapat menambah dan mengurangi. Kemudian muncul GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ (1646-1716) yang mengembangkan rancangan Pascal sedikit lebih maju, sambil berkhayal bahwa suatu saat nanti semua dapat dilakukan hanya dengan memutar sebuah hendel

Selama tahun 1700-an makin banyak mesin seperti itu yang diciptakan. Tetapi umumnya gagal mendapatkan suatu bentuk yang serbaguna sebagaimana seharusnya sebuah komputer. Umpamanya, dalam tiap hal, orang hanya memasukkan angka dengan mengatur roda atau knop dan kemudian memutar hendel yang cocok untuk melakukan pertambahan atau pengurangan. Jadi input hanya mengandung angka yang akan dikombinasikan. Padahal komputer serbaguna seharusnya mampu membaca instruksi tentang mau diapakan angka-angka tersebut.

Pemecahan persoalan ini akhirnya tidak datang dari laboratorium atau dari kamar kerja ilmuwan, melainkan dari dapur-dapur pabrik sebagai dampak dari Revolusi Industri.

Muncul Loom (semacam perkakas tenun tangan) dari Weaver sebagai pemroses informasi. Perangkat ini mampu menerjemahkan rancangan abstrak ke dalam pola-pola berwarna, yang diciptakan melalui lingkarang benang berwarna pada tempat tertentu. Pada pertengahan tahun 1700-an suatu alat ditemukan yang dapat memindahkan pola ini pada suatu kartu berlubang. Dengan sebuah alat tenun tangan (loom) model lama, penenun membaca kartu-kartu itu. Tetapi dalam tahun 1801 JOSEPH MARIE JAQUARD menemukan alat tenun berdaya guna yang mempunyai alat pembaca kartu secara otomatis.

Keberhasilan mesin Jaquard ini mengundang protes ribuan pekerja yang selama ini bertugas membaca kartu-kartu itu. Bahkan hampir saja mereka membunuh Jaquard, sang pencipta. Di Inggris, ide Jaquard dikembangkan oleh CHARLES BABBAGE 1792-1871), yang nantinya disebut sebagai BAPAK KOMPUTER. Selama beberapa tahun Babbage, seorang professor matematika, bekerja dengan sebuah mesin hitung besar yang disebut Mesin Differensial. Alat ini sedianya dapat menghitung tabel-tabel matematika jika bisa dirampungkan. Dalam tahun 1822 Babbage memohon bantuan dana kepada The Royal Society, dalam rangka mengembangkanmesin differensial tersebut. Mereka mengabulkan permohonan itu, meskipun banyak komentar yang menentangnya.

Babbage menyewa ahli mesin, tetapi karena ia selalu muncul dengan gagasan-gagasan baru, hingga agak menghambat penyelesaian proyek. Sementara itu, dengan idenya yang tidak pernah kering, ia beralih ke proyek-proyek baru misalnya penghitungan tabel-tabel asuransi jiwa, penentuah sinyal-sinyal penerangan rumah; proses pemotongan gelas, bahkan untuk pendugaan gunung berapi. Itulah sebabnya inovasi baru Babbage terhadap kartu berlubang Jaquard disebut Mesin Analitis. Inilah mesin analitis yang dibayangkan Babbage. Komponen utamanya adalah sebuah unit penggilingan (Mill)

Pada pusat mesin ini terdapat banyak roda bergerigi, suatu alat untuk menambah dengan ketepatan 50 desimal. Instruksi kepada alat ini akan dibaca melalui kartu berlubang. Kartu berlubang tidak hanya mengirim angka tetapi juga polanya. Mesin itu perlu memiliki suatu alat baca Input. Untuk menyimpan angka guna keperluan nanti, Babbage menyediakan suatu bagian yang disebut Unit Memori atau Store. Akhirnya bagian yang dikenal sebagai Output. Babage merancang mesin cetak pertama yang mampu mencetak hasil perhitungan komputer.

Kartu-kartu berlubang mampu melakukan hal-hal berikut:
· Memasukkan angka ke dalam unit memori
· Memasukkan angka ke dalam mill
· Memindahkan angka dari mill ke unit memori
· Memindahkan angka dari unit memori ke mill
· Memerintahkan mill melalukan operasi tertentu
· Mengeluakan suatu hasil angka dari unit memori atau mill

Sejauh ini, ide-ide tersebut hanya sampai pada taraf rencana. Selanjutnya Babbage mulai mencari simpatisan yang dapat membantunya dalam mewujudkan rencananya. Simpatisan utamanya adalah ADA AUGUSTA, seorang gadis, putri seorang penyair LORD BYRON dan merupakan seorang matematikawati amatir yang sangat antusias. Jika Charles Babbage dikenal sebagai BAPAK KOMPUTER, maka Ada Augusta disebut sebagai IBUNYA KOMPUTER.

Augusta menjadi programmer pertama. Ia membuat rangkaian perintah untuk mesin analisis tersebut. Ia menemukan Subroutine, suatu instruksi yang dapat digunakan berulang-ulang dalam berbagai konteks. Juga Loop, yang memungkinkan suatu instruksi dapat dibaca kembali. Selain itu, dibuat pula ’loncatan bersyarat’, yaitu suatu perintah loncatan jika suatu kondisi tertentu terpenuhi.

Suatu hambatan kemudian muncul, tatkala pemerintah menghentikan bantuannya. Babbage lalu mengharapkan sokongan para ahli lain, terutama dari Augusta. Namun sayang sekali, Augusta ternyata meninggal dalam usia muda. Babbage tidak berhasil merampungkan pekerjaannya.

Sementara itu, pemikiran berkembang ke dua arah. Pertama adalah ke arah pembuatan mesin hitung mekanik. Beberapa ahli mengembangkan mesin differensial yang diciptakan Babbage. Muncul mesin hitung Desktop (yang dapat diletakkan diatas meja) untuk Cash-Register yang banyak digunakan di toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan. Di lain pihak berkembang mesin dengan sistem kartu berlubang.

Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh HERMANN HOLLERITH (1860-1929) saat merancang mesin untuk mengolah tabel-tabel angka hasil sensus. Hollerith juga didasari oleh prinsip Loom dari Jaquard. Ia membuat mesin yang khusus untuk pengumpulan dan pengklasifikasian informasi.

Sebelum Hollerith membuat mesinnya, biro sensus di Amerika mengolah data sensus secara manual yang sangat lambat. Sebagai contoh, sensus penduduk di AS tahun 1880 memakan waktu tujuh setengah tahun hanya untuk menganalisis hasilnya. Saat itu bentuk pertanyaan sensus hanyalah berupa sejumlah pilihan berganda.

Lalu siapa sebenarnya pembuat komputer elektronik pertama? Orangnya tiada lain adalah KONRAD SUZE (1910-?). Mesinnya, Z-1 yang diciptakan tahun 1936, mampu menghitung secara bersambung dan membaca data yang dimasukkan berupa film berlubang. Suze, seorang berkebangsaan Jerman, mencoba menjual temuannya kepada pemerintah yang sedang menghadapi perang. NAZI lalu berpikir mereka pasti dapat memenangkan peperangan dengan mesin tersebut. Maka komputer benar-benar lahir untuk PERANG DUNIA KE DUA.

Di Amerika, angkatan laut bekerjasama dengan Havard University dan IBM (International Business Machine) membuat MARK I, suatu komputer elektromagnetik raksasa pada tahun 1944. Rancangannya dibuat oleh Professor HOWARD AIKEN dari Harvard. Mesin ini berdasarkan ide Babbage. MARK I besarnya 400 meter kubik dan memuat ribuan tabung. Jika dijalankan menimbulkan bunyi menderu bagai suara mesin tenun yang sedang bekerja. MARK I dapat menggandakan dua angka berdigit 10 dalam waktu tiga detik. Kemudian angkatan bersenjata memasok dana untuk proyek ini. Tujuannya mirip dengan Tartaglia di tahun 1500, yaitu untuk membuat peluru balistik supaya lebih akurat. Pimpinan proyek ini adalah J. PRESPER ECKERT dan JOHN MAUCHY. Hasilnya adalah ENIAC (The Electronic Numerical Intergrator And Calculator) yang berisi 18.000 tabung. ENIAC mampu melakukan 500 buah perkalian tiap detik. Tergolong sangat cepat waktu itu. Tetapi dibandingkan dengan sekarang sangat lambat.

Persoalannya adalah bahwa ENIAC baru rampung pada tahun 1946, enam bulan setelah Perang Dunia ke Dua berakhir. Tetapi di dunia ini akan selalu ada peperangan (Itu barangkali prinsip mereka!, dan memang terbukti benar) Hingga angkatan bersenjata Amerika tetap mengembangkannya lebih jauh lagi untuk keperluan perang berikutnya! Proyek dikembangkan terus untuk perhitungan pada program senjata nuklir. ENIAC memang bekerja ‘cepat’, tetapi agak lemah karena memorinya sangat kecil dan tiap kali diperlukan perhitungan lain, maka seluruh sistem kabelnya harus dirombak! Meskipun demikian dengan 18.000 buah tabung berkelap-kelip sebanyak 100.000 kali tiap detik, ENIAC harus sangat handal dibandingkan dengan seluruh mesin yang pernah dibuat sampai saat itu, mengingat salah perhitungan bisa fatal akibatnya.

Kemudian muncul JOHN VON NEUMANN (1903-1957), seorang professor matematika dari Princeton yang mengubah alat hitung elektronik menjadi ‘otak komputer’.

VON NEUMANN merenungkan struktur logis komputer:
Bagaimana komputer dapat mengontrol dirinya sendiri
Berapa besar memori yang diperlukan
Untuk apa memori itu, dan sebagainya

Lalu ia bertanya pada dirinya sendiri. Bagaimana membuat otak komputer mirip dengan jaringan otak manusia, yaitu sistem pusat syaraf. Bayangkan tahapan yang dipikirkan dan dilalui oleh seorang dokter ketika akan melakukan operasi pembedahan. Semua rencana dan cara melakukanmya sudah ada dalam otak sang dokter.

VON NEUMANN lalu merancang komputer agar dapat melakukan hal-hal berikut:
Temukan cara mengubah instruksi menjadi kode (encode) ke dalam suatu bentuk yang dapat disimpan dalam memori komputer. Von Neumann menyarankan untuk menggunakan rangkaian kode 1 dan 0 (binary).
Simpan instruksi tersebut dalam memori bersama-sama informasi lain (angka-angka dsb) sedemikian rupa agar nanti dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Kalau menjalankan program, ambil langsung instruksi itu dari memori. Jadi tidak dibaca dari kartu berlubang yang baru untuk setiap langkah baru.

Ini merupakan konsep dasar program tersimpan. Keuntungannya adalah lebih cepat, dapat melakukan berbagai jenis pekerjaan dan dapat melakukan perubahan (penyesuaian) sendiri.

Untuk mewujudkan ide tersebut, Von Neumann membuat kode untuk suatu program yang disebutnya SORT AND MERGE. Secara sederhan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Daftar A
Daftar B
Daftar C
ALADIN
ANTON
ANEN
AAN
TANTI
BEJO
OMAN
ALDY
AAN
ALADIN
ALDY
ANEN
ANTON
BEJO
OMAN
TANTI

Jika terhadap daftar A dan daftar B dilakukan proses SORT AND MERGE maka hasilnya adalah daftar C.

Selanjutnya timbul pemikiran bagaimana supaya komputer yang besar ini dapat memasyarakat. Tahun 1947, setelah ENIAC rampung, suatu tim dari Stanford menemukan transistor yang menggunakan elemen yang disebut semi-conductor. Seperti tabung-tabung ENIAC, transistor dapat berfungsi sebagai saklar. Keuntungannya adalah lebih kecil bentuknya, lebih cepat bekerjanya, lebih dingin, tahan lama dan lebih hemat enerji. Komputer pertama yang menggunakan temuan ini ukurannya sebesar satu ruang kelas dengan harga cukup mahal.

Kemudian perkembangan terus terjadi hingga transistor semakin kecil dan semakin murah. Mula-mula muncul Integrated Circuits. Suatu keping berisi banyak sekali transistor buatan pabrik. Kemudian Large Scale Integration (LSI) dan Very Large Scale Integration (VLSI) yang berisi ratusan ribu transistor pada sebuah Chip ukuran kecil.

Tahun 1960-an muncul Mini Computer yang berukuran seperti sebuah lemari biasa. Tahun 1970-an datang Micro Computer yang berukuran segenggaman, yaitu kalkulator. Lalu muncul Main Frame, perangkat komputer yang dapat dioperasikan oleh banyak orang sekaligus. Akhirnya Super Computer di awal tahun 1980-an yang mampu menghitung pada taraf 500 Megaflops (500 X 10 per detik).

Selanjutnya pembaca dapat menelusur sendiri perkembangan komputer mutakhir yang kini banyak terdapat dalam beragam literatur. Sesungguhnya perkembangan ini tiada habisnya, sebagaimana perang yang selalu ada.

Bacaan:
GONICK, LARRY. The Cartoon guide to computer science. New York: Barnes & Noble Books, 1983.
JOCKER, CORINNE. Men, memory and machines: an introduction to cybernetics. New York: Dell Pub., 1964.